Belajar dari
Korea Selatan : Kesuksesan Industri-Ekonomi Korea
Tepat 2 hari setelah Korea Selatan
merdeka, Indonesia juga memproklamir kemerdekaan setelah 2 kota besar Jepang
dijatuhi bom atom pada 6 dan 9 Agustus 1945. Sesaat setelah Indonesia
memproklamirkan kemerdekaan, Belanda dan sekutu (Inggris, Amerika Serikat dan
cs) secara berusaha menjajah kembali wilayah Indonesia. Pada saat yang sama,
terjadi pemberontakan diberbagai daerah di nusantara. Hal yang sama terjadi di
Korea Selatan. Tidak lama setelah merdeka, Korea mengalami perang saudara yang
disulut oleh kepentingan ideologi asing. Perang Korea pada 1950-1953 yang
menewaskan hampir 2.5 juta jiwa menghancurkan perekonomian dan stabilitas
negara yang baru berdiri.
Merdeka
Pada Tahun yang Sama, Tapi Hasilnya Berbeda
Dari segi usia dan sejarah pahit
masa-masa pra dan pasca kemerdekaan, Indonesia tidak jauh berbeda dengan Korea
Selatan (Korsel). Indonesia dan Korsel
sama-sama menjadi negara miskin setelah lama dijajah. Namun, ada satu hal yang
sangat mencolok antara Indonesia dan Korsel pada saat itu (dan sekarang). Indonesia sangat kaya dengan sumber daya alam dan tanah
yang subur, sementara Korea sangat miskin dengan sumber daya alamnya. Dalam kondisi yang bertolakbelakang ini,
ternyata dalam beberapa dekade kemudian justru Indonesia tertinggal jauh
dibanding Korea. Bukan sebaliknya…..
Dari awalnya adalah negara pertanian
tradisional paling miskin, Korsel bangkit menjadi negara industri modern
yang disegani dunia. Bayangkan, diawal-awal Korsel harus bergantung pada utang
luar negeri hanya sekadar bertahan, bukan berkembang. Saking begitu miskinnya,
AS juga sampai memutuskan mengurangi bantuan karena mengira Korsel tidak akan
pernah bisa tumbuh.
Dalam beberapa dekade kemudian, Korsel
mencetak prestasi yang sangat luar biasa sekaligus menjungkirkan semua
pandangan rendah terhadap bangsa Korea. Pada saat yang sama, bangsa Korea
bertekad untuk menyalip negara yang pernah menjajah dan negara yang pernah
memandang sebelah mata. Perihnya penjajahan Jepang membuat bangsa Korea harus
mengalahkan bangsa Jepang (dalam pengertian soft-power). Ditambah dengan
sikap AS yang awalnya memandang rendah justru membuat bangsa Korsel bangkit dan
sadar bahwa hanya kebijakan radikal dan semangat
kebangsaan tinggi (atau istilah Bung Karno
: national and character building) yang
bisa membebaskan perekonomian dari stagnasi dan kemiskinan.
Indonesia yang kaya dengan sumber daya
dan hasil alamnya, meskipun merdeka pada tahun yang sama dengan Korea, bangsa
Indonesia ternyata tertinggal sangat jauh 4 dekade kemudian. Selama kurun
1960-1990, Korsel merupakan termasuk salah satu negara dengan pertumbuhan
ekonomi tercepat. Tahun 1988 (43 tahun kemerdekaan), Korsel sukses menjadi tuan
rumah Olimpiade
Dunia 1988. Memasuki
tahun 1990-an, Korea semakin menunjukkan eksistensinya menjadi negara maju
dengan pertumbuhan ekonomi dan indeks pembangunan manusia yang tinggi.
Dan hingga saat ini, Korsel telah
mengalahkan banyak negara dunia termasuk Eropa. Korsel menjadi negara dengan
kekuatan ekonomi ke-15 terbesar dunia dan keempat di Asia setelah Jepang, China
dan India. Korsel menjadi salah satu negara
eksportir barang manufaktur berteknologi tinggi utama, mulai dari elektronik,
mobil/bus, kapal, mesin-mesin, petrokimia hingga robotik.
Salah satu kekuatan ekonomi Korsel
digerakkan oleh sistem jaringan. Bila bangsa China menggunakan akar jaringan
rantau yang berbasis pada klan/marga, dialek, lokalitas, perhimpunan dan
terpenting kepercayaan. Bangsa Korea juga menerapkan akar jaringan yang sama
yakni kepercayaan yang lebih dikenal dengan Chaebol.
Jaringan Chaebol Korea merupakan konglomerasi korporasi raksasa yang menguasai
ekonomi Korea. Chaebol didukung oleh keluarga, namun berbeda dengan Keiretsu
di Jepang atau Grupo di Amerika Latin, para pemimpin Chaebol
hampir tidak pernah memegang posisi resmi/legal chaebol yang dipegangnya.
Diantara konglomerasi Chaebol adalah korporasi raksasa Samsung, LG, Hyundai-Kia
dan SK.
Angka-Angka Fantastis
Ekonomi Korea
Diawal tahun 1960-an, ekonomi bangsa
Indonesia tidak jauh berbeda dengan Korea. Pada saat itu,perndapatan per
kapita negara Korsel dan Indonesia dibawah US 100 dolar. Indonesia dengan
pendapatan per kapita sekitar USD 70 dan Korea USD 80 per kapita. Lima
puluh tahun kemudian, income per kapita bangsa Korea Selatan naik menjadi USD 19.000,
sementara Indonesia baru menyentuh USD 2.200. Pendapatan per kapita Korsel naik
235 kali lipat dan Indonesia hanya naik 1/8-nya atau naik 31 kali.
Ini berarti, rata-rata rakyat Korsel
mengalami peningkatan pendapatan 490% per tahun, sementara kenaikan pendapatan
rata-rata rakyat Indonesia hanya 64% per tahun. Angka ini tentu tidak
menunjukkan realitas yang sesungguhnya, karena baik Korea maupun Indonesia
masih memiliki Indeks Gini yang tinggi (perbedaan antara si kaya dan miskin).
- Negara dengan kenaikan PDB lebih 400 kali lipat
dari USD 2,3 miliar (1962) menjadi USD 930 miliar (2008 )
- Negara dengan kenaikan Income per capita 23500% dari
USD 80 (1962) menjadi USD 19.000 (2008 )
- Negara produsen terbesar dibidang perkapalan (sumber). Salah satu produk fenomenal dari industri
perkapalan Korea adalah Kapal MS Oasis of the Seas. MS Oasis ini merupakan
kapal penumpang terbesar dunia. Kapal ini dibuat oleh perusahaan Korsel STX
Europe. Termasuk Kapal Perang RI (Sumber).
- Negara produsen terbesar ke-3 dibidang
semikonduktor.
- Negara produsen terbesar ke-4 dibidang digital
elektronik.
- Negara
produsen terbesar ke-5 masing-masing dibidang otomotif, baja, tekstil dan
petrokimia.
- Negara
dengan akses internet tercepat di dunia (12 Negara Internet Tercepat Dunia)
- Kekuatan
ekonomi ke-4 terbesar di Asia setelah Jepang, China dan India. Didunia Korsel
menduduki peringkat ke-15.
- Negara eksportir
terbesar ke-11 dunia. Atau menduduki eksportir terbesar ke-3 Asia
setelah China (2 dunia) dan Jepang (4 dunia). Sementara Indonesia
berada di peringkat 31.
- Negara dengan 97% eskpor merupakan produk manufaktur
berteknologi tinggi.
- Negara dengan cadangan devisa terbesar ke-4 dunia.
- Negara dengan pertumbuhan ekspor rata-rata 30%
selama 3 dekade. Nilai ekspor naik dari 3% GDP (1962) menjadi 37% GDP
(2000)
- Negara dengan Indeks Pembangunan Manusia (HDI)
tinggi. Peringkat 26 dari 180 negara. Sementara HDI Indonesia
berada di peringkat 111 dan lain-lain.
Belajar dari Kunci Sukses
Korea Selatan
Bagaimana dari negara miskin sumber
daya, Korsel bisa membangun kekuatan industri yang begitu dahsyat? Kasus Korsel
menunjukkan kunci sukses suatu pembangunan ekonomi bukan terletak pada ada atau
tidaknya SDA, tetapi pada ada tidaknya kemauan dan kemampuan manusianya,
terutama level pemimpinnya, dan pada pilihan pilihan strategi kebijakan (Sri
Hartati Samhadi).
Menurut ekonom Korea Institut for
International Economic Policy, Chuk
Kyo Kim, keberhasilan
Korea Selatan dapat tidak lepas dari perhatian besar pemerintah Korsel pada pendidikan, pembangunan sumber daya manusia, serta
investasi agresif di kegiatan penelitian dan pengembangan.
Disamping faktor besar dari pemerintah,
kesuksesan Korsel juga tidak lepas dari pembangunan karakter dan kebangsaan
rakyat Korsel yang tangguh. Tumbunya jiwa kewiraswastaan, tenaga kerja yang
sangat terlatih, pengelolaan utang luar negeri yang baik, pemerintahan yang
relatif bersih, makroekonomi yang solid, dan kondisi sosial-politik yang
relatif bebas dari konflik.
Keberhasilan Korsel jelas didukung
budaya kerja keras dan etos kerja yang tinggi. Orang Korsel dikenal sebagai
pekerja keras, dengan jam kerja jauh lebih panjang dibandingkan negara-negara
yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) lain.
Faktor lain adalah adanya kemitraan kuat antara pemerintah, swasta dan
masyarakat, serta kemampuan masyarakat untuk beradaptasi dengan cepat terhadap
perubahan teknologi dan tantangan baru.
Dari sisi strategi kebijakan, dari awal
penguasa Korsel menyadari pentingnya mengembangkan sektor generatif. Hal itu
meliputi sektor-sektor ekonomi unggulan yang secara simultan bisa menjadi
sumber akumulasi kapital dan memungkinkan terjadinya pertumbuhan berbagai
industri turunan dan industri terkait, sekaligus sumber inovasi teknologi dan
kelembagaan, seperti pada kasus industri baja dan industri pembuatan kapal.
Industri baja yang kuat menjadi katalis
bagi tumbuhnya industri otomotif, pembangunan kapal, peti kemas, jalan raya,
konstruksi, dan industri perlengkapan rumah tangga, yang saling mendukung dan
memperkuat. Sementara itu, industri pembuatan kapal melahirkan industri
rekayasa elektrik, elektronik, kimia, material, dan mekanis.
Jadi, selain
“political will” pemerintah Korsel yang tinggi terhadap pembangunan bangsanya,
mentalitas rakyat Korea sudah terbentuk dengan bangga dan cinta menggunakan
produk lokal. Orang Korea paling benci menggunakan produk dari negara
yang pernah menjajahnya yakni Jepang. Untuk menggunakan produk canggih, secara
bertahap dan mandiri, mereka memproduksi sendiri. Karakter bangsa yang cinta
akan produk dalam negeri ini membuat perusahaan-perusahaan raksasa Korea jaya
didalam negeri sekaligus bertahap jaya di luar negeri.
Produk-produk Samsung Electronics,
POSCO, Hyundai Motor, KB Financial Group, Shinhan Financial Group, Samsung Life
Insurance, Korea Electric Power, LG Electronics, Hyundai Mobis, LG Chem menjadi
pilihan utama warga Korea. Produk-produk perusahaan Korea dapat ditemukan
disetiap sisi jalan (mobil dan motor), setiap individu (ponsel, kamera), setiap
rumah (televisi, mesin cuci, AC, rice cooker dll).
Hyundai Genesis Coupe, mobil mewah/lux yang diproduksi
oleh PT Hyundai Kia Automotive Group, perusahaan mobil nomor 4 dunia setelah
Toyota, GM dan Volkswagen
Perbedaan
Mencolok
Itulah pesan yang pernah saya terima
dari Pak Shidiq G, salah satu rekan kita yang saat ini menjadi TKI di Korea
Selatan (perusahaan LG). Dalam beberapa kesempatan beliau bercerita kepada saya
bagaimana perhatian pemerintah Korea, dan bagaimana pola hidup masyarakat di
Korea. Pak Shidiq sudah hampir 5 tahun berada di Seoul Korea (3 tahun + 2 tahun
terakhir). Dalam salah satu pesannya, beliau begitu ‘iri’ dengan budaya dan
perkembangan Korea Selatan yang begitu pesat bila dibanding dengan Indonesia.
Berikut beberapa ‘pesan’ yang ingin
disampaikan Pak Shidiq sebagai bahan renungan kita dalam membangkitkan industri
lokal dengan turut serta mencintai produk lokal.
- Orang
Korsel membeli mobil Hyundai, KIA, Daewoo atau Sangyong sebagai
kendaraannya. Hanya sedikit sekali yang membeli Toyota, Honda, BMW,
Mercy atau yang lainnya.
- Orang Korsel membeli dan memakai HP bermerek Samsung
atau LG. Sangat sedikit sekali saya melihat orang Korsel yang menggunakan
Motorola, Soni atau Nokia. (Catatan tambahan : Samsung dan LG saat ini
masing-masing menduduki peringkt 2 dan 3 produksi ponsel terbesar dunia
setelah Nokai)
- Orang Korsel membeli motor yang bermerek Daelim,
Hyosung. Jarang sekali ditemukan motor bermerek Honda, Yamaha, Suzuki atau
Harley.
- Dirumah-rumah orang Korsel dipenuhi perabotan
elektronik bermerek Samsung dan LG. Baik TV, DVD, mesin cuci, kulkas,
komputer, heater, AC, hingga setrika.
Bagaimana dengan Indonesia?
Dari mobil, motor, ponsel dan peralatan
elektronik hampir 95% adalah produk-produk asing. Cobalah kita lihat
produk-produk yang kita pakai selama ini, sebagian besar adalah dari produk
luar. Meskipun kita telah sama-sama merdeka dengan Korea Selatan sejak 1945,
meskipun sumber daya alam kita lebih kaya daripada Korsel, ternyata bangsa kita
sangat antusias menggunakan mobil Toyota, Honda, Nissan, Daihatsu, BMW,
Hyundai, Mercy.
Menggunakan HP bermerek Nokia, Sony
Ericsson, Motorola, Samsung, LG, Haier, ZTE dll. Dan dijalan-jalan kita
bangga menggunakan motor bermerk Honda, Yamaha, Suzuki, Kawasaki, atau motor
China. Sampai dirumah, kita bangga dengan hampir semua perabotan
elektronik rumah kita yang merupakan merk-asing. Kita bangga dengan produk LG,
Sony, Toshiba, Samsung. Sementara produk-produk buatan bangsa Indonesia seperti
Polytron masih mendapat porsi yang kecil oleh masyarakat kita.
Apa yang dapat kita petik dari kedua
kondisi diatas? Pertama adalah mental bangsa kita yang lebih menghargai negara
asing bahkan negara mantan penjajah. Berbeda dengan bangsa Korea yang berjuang
mati-matian untuk memajukan bangsanya agar dapat menyalip kesuksesan negara
yang pernah menjajahnya yakni Jepang atau negara-negara yang pernah
melecehkannya seperti Amerika. Kedua adalah peran besar pemerintah dalam
pendidikan, pengembangan sumber daya serta investasi yang besar dalam industri
teknologi. Inilah
yang dulunya dirancang Pak Habibie dalam membawa Indonesia maju kedepan. Sayang rencana
besarnya kandas ketika krisis 1997 menghantam Indonesia.
Dan perlu kita lihat dan pelajari bahwa
cara mereka ‘melawan’ atau ‘membenci’ negara asing yang pernah merugikan
negaranya bukan dengan aksi kekerasan, perusakan, penghinaan ideologi, atau
usaha-usaha hard-power. Namun semuanya dilawan dengan cara-cara yang
sangat elegan yakni soft-power. Cara paling sederhana adalah mereka malu
menggunakan produk Jepang, disisi lain mereka bercita-cita untuk mengalahkan
Jepang. Mereka tidak akan mengalahkan Jepang dengan kekuatan senjata, tetapi
mengalahkan Jepang dalam persaingan bisnis, industri dan ekonomi.
Mestinya kita bisa belajar dari bangsa
Korea. Musuh utama kita adalah negara-negara asing yang telah menjajah negara
kita, yang telah berusaha membela-bela bangsa kita dengan gerakan separatis dan
adu domba, maka saatnya bangsa kita bangkit untuk setiap saat memikirkan
cara-cara memajukan bangsa. Sambil bekerja dan berinovasi, bangsa kita harus
malu menggunaan produk-produk negara ‘jahat’. Kita harus mulai malu menggunakan
produk negara Jepang yang pernah 3.5 menjajah Indonesia, SPBU Shell yang
negaranya menjajah 350 tahun Indonesia, Amerika Serikat yang berkali-kali
membantu pemberontakan PRRI/Semesta dan sejumalah konspirasi lain atau produk
Air Asia atau XL dari negeri jiran Malaysia. Dan masih banyak lagi.
**************
Kemajuan ekonomi dan perindustrian
Korsel tidak lepas dari penguasaan bangsa Korea dalam industri manufaktur yang
berkembang menjadi riset-pengembangan. Penguasaan industri ini lalau didukung
penguasaan pasar lokal oleh bangsanya sendiri. Dengan lakunya produk-produk
yang diproduksi perusahaan lokal berarti perusahaan lokal akan terus maju dan
berkembang menjadi besar bahkan raksasa. Hal ini berdampak langsung pada
penciptaan lapangan pekerjaan. Hasil pertumbuhan industri dan ekonomi digunakan
untuk kemakmuran bangsa Korsel. Sehingga sangatlah wajar Pak Shidiq
bercerita bahwa ‘sangat mudah mencari pekerjaan di Korea Selatan” dibanding di
Indonesia. Penyebabnya sangat jelas, saat ini bangsa Korsel adalah bangsa
penghasil, sementara saat ini bangsa Indonesia adalah bangsa pemakai.