Minggu, 30 September 2012

Beda "Perusahaan" Kaya dengan "orang" Kaya

KATA "kaya" semakin banyak digunakan para motivator. Demikian juga buku-buku motivasi. Sayang sekali bila mereka menyamakan sukses dengan kaya dan kaya adalah tujuan dalam melakukan apa saja; ya berwirausaha, ya berpolitik. Bahkan, berbagi pun ditujukan agar mendapat imbalan, "kembalian yang lebih besar dari Allah" Mari kita buka fakta-fakta berikut ini. Kaya Raya Banyak Harta. Ustad Jaya Komara tewas di sel tahanannya setelah ditangkap dua bulan lalu di sebuah hotel melati di Purwakarta. Ustad Jaya adalah wirausaha sukses yang kaya raya. Kekayaannya diduga polisi Rp 6 triliun, berasal dari 125.000 orang nasabah Koperasi Langit Biru. Caranya "sangat cerdas"; yaitu menawarkan cara cepat kaya dengan metode money game. Menurut polisi, dia memiliki banyak tanah dan sawah serta saat ditangkap sedang bersama istri mudanya.

Kedua, Inong Melinda Dee juga dikenal sebagai perempuan kaya saat bekerja di Citibank Jakarta. Walaupun posisinya hanya relationship manager, dia bisa memiliki suami siri berusia baya dan membelikan mobil-mobil mewah (Ferrari Scuderia, Ferrari California, dan Hummer) untuk suami barunya itu. Di luar, suami baru tersebut mengaku sukses berwirausaha. Saya sempat heran saat mendengar seorang "motivator" menyebutkan itulah bukti kerja cerdas.

Belakangan kita semua mengetahui, kekayaan itu hanya dapat diperoleh rnelalui jurus membobol rekening nasabah Citibank. Malinda divonis delapan tahun penjara.
Apa yang dapat kita pelajari dari fakta-fakta tersebut? Semuanya berasal dari kegairahan tak terbatas mengejar kekayaan, banyak uang, lalu berkuasa. Orang seperti itu biasanya tidak pernah puas. Seperti judul sebuah buku yang saya temui di seksi buku inspiratif yang berjudul Kaya Raya, Banyak Istri, Masuk Surga. Kalau sesuatu tak bisa dibeli, ya dirampas. Supaya jalan mulus, pejabat pun dibeli. Pensiunan orang kuat pun ditaruh dalam struktur organisasi. Semuanya dimulai dari niat awal seseorang berusaha atau berbuat. Ketika kewirausahaan bukan tujuan, melainkan alat, yaitu alat menjadi kaya, bacaan-bacaannya pun adalah buku jalan pintas yang ada kata-kata "kaya"nya. Mereka tidak perlu tenaga ahli. Yang diperlukan adalah orang yang mau menjalankan keinginan mereka.

Perusahaan Kaya

Sekarang mari pelajari apa bedanya mereka dengan "perusahaan" kaya. Perusahaan mencerminkan karakter pembangunnya. Orang bisa saja kaya dari perusahaannya, tetapi kaya bukanlah tujuannya. Kaya adalah akibat dari pemberian Tuhan, kerja keras yang cerdas, disiplin diri, dan tentu saja berasal dari kepercayaan.
Di antaranya, saya menemukan perusahaan yang orang-orangnya tidak dikenal sebagai pengusaha kaya. Nama mereka jarang disebut-sebut.

Ambil saja contoh Astra Intemasional Tbk yang pertengahan tahun ini mengumumkan keuntungannya (enam bulan pertama) Rp 9,7 triliun dan mempekerjakan 176.000 karyawan. Kalau digabung dengan anak-anak perusahaannya, nilai kapitalisasi pasar Astra mencapai 14 persen dari seluruh perusahaan yang tercatat di bursa efek Indonesia.

Di kantor Astra, saya membaca tulisan ini : Per Aspera Ad Astra, mencapai bintang-bintang di langit melalui kerja keras. Tak ada kata kerja cerdas kendati mereka terdiri atas orang-orang yang cerdas. Mereka tahu, kecerdasan hanya tumbuh di tangan orang-orang yang mau bekerja keras. Mereka belajar dari berbagai kesulitan. Dan kalau Anda bertemu dengan "lulusan" Astra, Anda akan mengerti apa yang membedakan mereka dengan yang lain. Mereka adalah orang-orang yang sangat percaya pada proses, bukan jalan pintas. Kalau prosesnya sudah benar, output-nya akan benar.

Pandangan Astra itu dituangkan dengan bagus oleh Tjahjadi Lukiman, "lulusan Astra" yang kini aktif di Triputra Group dalam bukunya, Right Process Will Bring Great Results. Cara pandang tersebut berbeda dengan buku-buku jalan pintas yang menjanjikan seakan-akan ada cara mudah menjadi kaya, yaitu dengan berwirausaha cara cerdas, dua menit sukses, tanpa modal, cara malas, cara kepepet, dan seterusnya.
Kalau belum pemah membangun usaha besar sudah merasa besar, biasanya mereka tidak mengerti bahwa sukses tak semudah yang mereka ucapkan, juga tidak pernah mereka pikirkan apa akibatnya bagi masa depan bangsa ini.

Bukti-bukti ilmiah menunjukkan, kaya menuntut proses yang mendalam dan membangun sebuah proses membutuhkan komitmen yang berarti persiapan (bukan kepepet), keberanian yang dipikirkan (bukan ngawur-ngawuran), sumber daya yang dicari kiri dan kanan, tata nilai yang dijaga dengan teguh dan penuh kesadaran, serta membangun manusia menjadi kehebatan. Dan, kaya dalam bisnis berarti kaya pada harta-harta tak terlihat (intangibles) seperti reputasi, keterampilan, kejujuran, brand image, pengetahuan, hak paten, jaringan pemasaran, dan segala hal yang tak mungkin dicapai dalam sekejap.

Jadi, kaya yang stabil itu bukan besarnya rumah, ukuran tanah, mobil, atau perhiasan yang bisa dilihat orang. Itulah yang membedakan Astra dengan orang-orang kaya yang saya sebut di atas. teman - teman tinggal memilih, ingin cepat kaya, tetapi labil dan berpotensi masuk penjara atau membangun perusahaan yang kaya dan dihormati banyak orang. Kalau pilihan jatuh pada yang kedua, bersusah-susahlah dahulu, jaga nama baik dan integritas, dan berproseslah. (*)

*) Guru besar FE Universitas Indonesia, pakar bisnis dan strategi

Sabtu, 08 September 2012

Belajar dari Korea Selatan : Kesuksesan Industri-Ekonomi Korea


Belajar dari Korea Selatan : Kesuksesan Industri-Ekonomi Korea
Tepat 2 hari setelah Korea Selatan merdeka, Indonesia juga memproklamir kemerdekaan setelah 2 kota besar Jepang dijatuhi bom atom pada 6 dan 9 Agustus 1945. Sesaat setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, Belanda dan sekutu (Inggris, Amerika Serikat dan cs) secara berusaha menjajah kembali wilayah Indonesia. Pada saat yang sama, terjadi pemberontakan diberbagai daerah di nusantara. Hal yang sama terjadi di Korea Selatan. Tidak lama setelah merdeka, Korea mengalami perang saudara yang disulut oleh kepentingan ideologi asing. Perang Korea pada 1950-1953 yang menewaskan hampir 2.5 juta jiwa menghancurkan perekonomian dan stabilitas negara yang baru berdiri.

Merdeka Pada Tahun yang Sama, Tapi Hasilnya Berbeda
Dari segi usia dan sejarah pahit masa-masa pra dan pasca kemerdekaan, Indonesia tidak jauh berbeda dengan Korea Selatan (Korsel).  Indonesia dan Korsel sama-sama menjadi negara miskin setelah lama dijajah. Namun, ada satu hal yang sangat mencolok antara Indonesia dan Korsel pada saat itu (dan sekarang). Indonesia sangat kaya dengan sumber daya alam dan tanah yang subur, sementara Korea sangat miskin dengan sumber daya alamnya. Dalam kondisi yang bertolakbelakang ini, ternyata dalam beberapa dekade kemudian justru Indonesia tertinggal jauh dibanding Korea. Bukan sebaliknya…..

Dari awalnya adalah negara pertanian tradisional paling miskin, Korsel bangkit menjadi negara industri modern  yang disegani dunia. Bayangkan, diawal-awal Korsel harus bergantung pada utang luar negeri hanya sekadar bertahan, bukan berkembang. Saking begitu miskinnya, AS juga sampai memutuskan mengurangi bantuan karena mengira Korsel tidak akan pernah bisa tumbuh.

Dalam beberapa dekade kemudian, Korsel mencetak prestasi yang sangat luar biasa sekaligus menjungkirkan semua pandangan rendah terhadap bangsa Korea. Pada saat yang sama, bangsa Korea bertekad untuk menyalip negara yang pernah menjajah dan negara yang pernah memandang sebelah mata. Perihnya penjajahan Jepang membuat bangsa Korea harus mengalahkan bangsa Jepang (dalam pengertian soft-power). Ditambah dengan sikap AS yang awalnya memandang rendah justru membuat bangsa Korsel bangkit dan sadar bahwa hanya kebijakan radikal dan semangat kebangsaan tinggi (atau istilah Bung Karno : national and character building) yang bisa membebaskan perekonomian dari stagnasi dan kemiskinan.

Indonesia yang kaya dengan sumber daya dan hasil alamnya, meskipun merdeka pada tahun yang sama dengan Korea, bangsa Indonesia ternyata tertinggal sangat jauh 4 dekade kemudian. Selama kurun 1960-1990, Korsel merupakan termasuk salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat. Tahun 1988 (43 tahun kemerdekaan), Korsel sukses menjadi tuan rumah Olimpiade Dunia 1988. Memasuki tahun 1990-an, Korea semakin menunjukkan eksistensinya menjadi negara maju dengan pertumbuhan ekonomi dan indeks pembangunan manusia yang tinggi.

Dan hingga saat ini, Korsel telah mengalahkan banyak negara dunia termasuk Eropa. Korsel menjadi negara dengan kekuatan ekonomi ke-15 terbesar dunia dan keempat di Asia setelah Jepang, China dan India. Korsel menjadi salah satu negara eksportir barang manufaktur berteknologi tinggi utama, mulai dari elektronik, mobil/bus, kapal, mesin-mesin, petrokimia hingga robotik.

Salah satu kekuatan ekonomi Korsel digerakkan oleh sistem jaringan. Bila bangsa China menggunakan akar jaringan rantau yang berbasis pada klan/marga, dialek, lokalitas, perhimpunan dan terpenting kepercayaan. Bangsa Korea juga menerapkan akar jaringan yang sama yakni kepercayaan yang lebih dikenal dengan Chaebol. Jaringan Chaebol Korea merupakan konglomerasi korporasi raksasa yang menguasai ekonomi Korea. Chaebol didukung oleh keluarga, namun berbeda dengan Keiretsu di Jepang atau Grupo di Amerika Latin,  para pemimpin Chaebol hampir tidak pernah memegang posisi resmi/legal chaebol yang dipegangnya. Diantara konglomerasi Chaebol adalah korporasi raksasa Samsung, LG, Hyundai-Kia dan SK.


Angka-Angka Fantastis Ekonomi Korea
Diawal tahun 1960-an, ekonomi bangsa Indonesia tidak jauh berbeda dengan  Korea. Pada saat itu,perndapatan per kapita negara Korsel dan Indonesia dibawah US 100 dolar. Indonesia dengan pendapatan per kapita sekitar USD 70 dan Korea USD 80 per kapita.  Lima puluh tahun kemudian, income per kapita bangsa Korea Selatan naik menjadi USD 19.000, sementara Indonesia baru menyentuh USD 2.200. Pendapatan per kapita Korsel naik 235 kali lipat dan Indonesia hanya naik 1/8-nya atau naik 31 kali.
Ini berarti, rata-rata rakyat Korsel mengalami peningkatan pendapatan 490% per tahun, sementara kenaikan pendapatan rata-rata rakyat Indonesia hanya 64% per tahun. Angka ini tentu tidak menunjukkan realitas yang sesungguhnya, karena baik Korea maupun Indonesia masih memiliki Indeks Gini yang tinggi (perbedaan antara si kaya dan miskin).

  • Negara dengan kenaikan PDB lebih 400 kali lipat dari USD 2,3 miliar (1962) menjadi USD 930 miliar (2008 )
  • Negara dengan kenaikan Income per capita 23500% dari USD 80 (1962) menjadi USD 19.000 (2008 )
  • Negara produsen terbesar dibidang perkapalan (sumber). Salah satu produk fenomenal dari industri perkapalan Korea adalah Kapal MS Oasis of the Seas. MS Oasis ini merupakan kapal penumpang terbesar dunia. Kapal ini dibuat oleh perusahaan Korsel STX Europe. Termasuk Kapal Perang RI (Sumber).
  • Negara produsen terbesar ke-3 dibidang semikonduktor.
  • Negara produsen terbesar ke-4 dibidang digital elektronik.
  • Negara produsen terbesar ke-5 masing-masing dibidang otomotif, baja, tekstil dan petrokimia.
  • Negara dengan akses internet tercepat di dunia (12 Negara Internet Tercepat Dunia)
  • Kekuatan ekonomi ke-4 terbesar di Asia setelah Jepang, China dan India. Didunia Korsel menduduki peringkat ke-15.
  • Negara eksportir terbesar ke-11 dunia.  Atau menduduki eksportir terbesar ke-3 Asia setelah China (2 dunia)  dan Jepang (4 dunia). Sementara Indonesia berada di peringkat 31.
  • Negara dengan 97% eskpor merupakan produk manufaktur berteknologi tinggi.
  • Negara dengan cadangan devisa terbesar ke-4 dunia.
  • Negara dengan pertumbuhan ekspor rata-rata 30% selama 3 dekade. Nilai ekspor naik dari 3% GDP (1962) menjadi 37% GDP (2000)
  • Negara dengan Indeks Pembangunan Manusia (HDI) tinggi. Peringkat 26 dari 180 negara. Sementara HDI Indonesia berada di peringkat 111 dan lain-lain.
Belajar dari Kunci Sukses Korea Selatan
Bagaimana dari negara miskin sumber daya, Korsel bisa membangun kekuatan industri yang begitu dahsyat? Kasus Korsel menunjukkan kunci sukses suatu pembangunan ekonomi bukan terletak pada ada atau tidaknya SDA, tetapi pada ada tidaknya kemauan dan kemampuan manusianya, terutama level pemimpinnya, dan pada pilihan pilihan strategi kebijakan (Sri Hartati Samhadi).

Menurut ekonom Korea Institut for International Economic Policy, Chuk Kyo Kim,  keberhasilan Korea Selatan dapat tidak lepas dari perhatian besar pemerintah Korsel pada pendidikan, pembangunan sumber daya manusia, serta investasi agresif di kegiatan penelitian dan pengembangan.

Disamping faktor besar dari pemerintah, kesuksesan Korsel juga tidak lepas dari pembangunan karakter dan kebangsaan rakyat Korsel yang tangguh. Tumbunya jiwa kewiraswastaan, tenaga kerja yang sangat terlatih, pengelolaan utang luar negeri yang baik, pemerintahan yang relatif bersih, makroekonomi yang solid, dan kondisi sosial-politik yang relatif bebas dari konflik.

Keberhasilan Korsel jelas didukung budaya kerja keras dan etos kerja yang tinggi. Orang Korsel dikenal sebagai pekerja keras, dengan jam kerja jauh lebih panjang dibandingkan negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) lain. Faktor lain adalah adanya kemitraan kuat antara pemerintah, swasta dan masyarakat, serta kemampuan masyarakat untuk beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan teknologi dan tantangan baru.

Dari sisi strategi kebijakan, dari awal penguasa Korsel menyadari pentingnya mengembangkan sektor generatif. Hal itu meliputi sektor-sektor ekonomi unggulan yang secara simultan bisa menjadi sumber akumulasi kapital dan memungkinkan terjadinya pertumbuhan berbagai industri turunan dan industri terkait, sekaligus sumber inovasi teknologi dan kelembagaan, seperti pada kasus industri baja dan industri pembuatan kapal.

Industri baja yang kuat menjadi katalis bagi tumbuhnya industri otomotif, pembangunan kapal, peti kemas, jalan raya, konstruksi, dan industri perlengkapan rumah tangga, yang saling mendukung dan memperkuat. Sementara itu, industri pembuatan kapal melahirkan industri rekayasa elektrik, elektronik, kimia, material, dan mekanis.

Jadi, selain “political will” pemerintah Korsel yang tinggi terhadap pembangunan bangsanya, mentalitas rakyat Korea sudah terbentuk dengan bangga dan cinta menggunakan produk lokal. Orang Korea paling benci menggunakan produk dari negara yang pernah menjajahnya yakni Jepang. Untuk menggunakan produk canggih, secara bertahap dan mandiri, mereka memproduksi sendiri. Karakter bangsa yang cinta akan produk dalam negeri ini membuat perusahaan-perusahaan raksasa Korea jaya didalam negeri sekaligus bertahap jaya di luar negeri.

Produk-produk Samsung Electronics, POSCO, Hyundai Motor, KB Financial Group, Shinhan Financial Group, Samsung Life Insurance, Korea Electric Power, LG Electronics, Hyundai Mobis, LG Chem menjadi pilihan utama warga Korea. Produk-produk perusahaan Korea dapat ditemukan disetiap sisi jalan (mobil dan motor), setiap individu (ponsel, kamera), setiap rumah (televisi, mesin cuci, AC, rice cooker dll).

Hyundai Genesis Coupe, mobil mewah/lux yang diproduksi oleh PT Hyundai Kia Automotive Group, perusahaan mobil nomor 4 dunia setelah Toyota, GM dan Volkswagen

Perbedaan Mencolok
Itulah pesan yang pernah saya terima dari Pak Shidiq G, salah satu rekan kita yang saat ini menjadi TKI di Korea Selatan (perusahaan LG). Dalam beberapa kesempatan beliau bercerita kepada saya bagaimana perhatian pemerintah Korea, dan bagaimana pola hidup masyarakat di Korea. Pak Shidiq sudah hampir 5 tahun berada di Seoul Korea (3 tahun + 2 tahun terakhir). Dalam salah satu pesannya, beliau begitu ‘iri’ dengan budaya dan perkembangan Korea Selatan yang begitu pesat bila dibanding dengan Indonesia.
Berikut beberapa ‘pesan’ yang ingin disampaikan Pak Shidiq sebagai bahan renungan kita dalam membangkitkan industri lokal dengan turut serta mencintai produk lokal.
  1. Orang Korsel membeli mobil Hyundai, KIA, Daewoo atau Sangyong sebagai kendaraannya. Hanya sedikit sekali yang membeli Toyota, Honda, BMW, Mercy  atau yang lainnya.
  2. Orang Korsel membeli dan memakai HP bermerek Samsung atau LG. Sangat sedikit sekali saya melihat orang Korsel yang menggunakan Motorola, Soni atau Nokia. (Catatan tambahan : Samsung dan LG saat ini masing-masing menduduki peringkt 2 dan 3 produksi ponsel terbesar dunia setelah Nokai)
  3. Orang Korsel membeli motor yang bermerek Daelim, Hyosung. Jarang sekali ditemukan motor bermerek Honda, Yamaha, Suzuki atau Harley.
  4. Dirumah-rumah orang Korsel dipenuhi perabotan elektronik bermerek Samsung dan LG. Baik TV, DVD, mesin cuci, kulkas, komputer, heater, AC, hingga setrika.
Bagaimana dengan Indonesia?
Dari mobil, motor, ponsel dan peralatan elektronik hampir 95% adalah produk-produk asing. Cobalah kita lihat produk-produk yang kita pakai selama ini, sebagian besar adalah dari produk luar. Meskipun kita telah sama-sama merdeka dengan Korea Selatan sejak 1945, meskipun sumber daya alam kita lebih kaya daripada Korsel, ternyata bangsa kita sangat antusias menggunakan  mobil Toyota, Honda, Nissan, Daihatsu, BMW, Hyundai, Mercy.

Menggunakan HP bermerek Nokia, Sony Ericsson, Motorola, Samsung, LG, Haier, ZTE dll. Dan dijalan-jalan kita  bangga menggunakan motor bermerk Honda, Yamaha, Suzuki, Kawasaki, atau motor China.  Sampai dirumah, kita bangga dengan hampir semua perabotan elektronik rumah kita yang merupakan merk-asing. Kita bangga dengan produk LG, Sony, Toshiba, Samsung. Sementara produk-produk buatan bangsa Indonesia seperti Polytron masih mendapat porsi yang kecil oleh masyarakat kita.

Apa yang dapat kita petik dari kedua kondisi diatas? Pertama adalah mental bangsa kita yang lebih menghargai negara asing bahkan negara mantan penjajah. Berbeda dengan bangsa Korea yang berjuang mati-matian untuk memajukan bangsanya agar dapat menyalip kesuksesan negara yang pernah menjajahnya yakni Jepang atau negara-negara yang pernah melecehkannya seperti Amerika. Kedua adalah peran besar pemerintah dalam pendidikan, pengembangan sumber daya serta investasi yang besar dalam industri teknologi. Inilah yang dulunya dirancang Pak Habibie dalam membawa Indonesia maju kedepan. Sayang rencana besarnya kandas ketika krisis 1997 menghantam Indonesia.

Dan perlu kita lihat dan pelajari bahwa cara mereka ‘melawan’ atau ‘membenci’ negara asing yang pernah merugikan negaranya bukan dengan aksi kekerasan, perusakan, penghinaan ideologi, atau usaha-usaha hard-power. Namun semuanya dilawan dengan cara-cara yang sangat elegan yakni soft-power. Cara paling sederhana adalah mereka malu menggunakan produk Jepang, disisi lain mereka bercita-cita untuk mengalahkan Jepang. Mereka tidak akan mengalahkan Jepang dengan kekuatan senjata, tetapi mengalahkan Jepang dalam persaingan bisnis, industri dan ekonomi.

Mestinya kita bisa belajar dari bangsa Korea. Musuh utama kita adalah negara-negara asing yang telah menjajah negara kita, yang telah berusaha membela-bela bangsa kita dengan gerakan separatis dan adu domba, maka saatnya bangsa kita bangkit untuk setiap saat memikirkan cara-cara memajukan bangsa. Sambil bekerja dan berinovasi, bangsa kita harus malu menggunaan produk-produk negara ‘jahat’. Kita harus mulai malu menggunakan produk negara Jepang yang pernah 3.5 menjajah Indonesia, SPBU Shell yang negaranya menjajah 350 tahun Indonesia, Amerika Serikat yang berkali-kali membantu pemberontakan PRRI/Semesta dan sejumalah konspirasi lain atau produk Air Asia atau XL dari negeri jiran Malaysia. Dan masih banyak lagi.
**************

Kemajuan ekonomi dan perindustrian Korsel tidak lepas dari penguasaan bangsa Korea dalam industri manufaktur yang berkembang menjadi riset-pengembangan. Penguasaan industri ini lalau didukung penguasaan pasar lokal oleh bangsanya sendiri. Dengan lakunya produk-produk yang diproduksi perusahaan lokal berarti perusahaan lokal akan terus maju dan berkembang menjadi besar bahkan raksasa. Hal ini berdampak langsung pada penciptaan lapangan pekerjaan. Hasil pertumbuhan industri dan ekonomi digunakan untuk kemakmuran bangsa Korsel.  Sehingga sangatlah wajar Pak Shidiq bercerita bahwa ‘sangat mudah mencari pekerjaan di Korea Selatan” dibanding di Indonesia. Penyebabnya sangat jelas, saat ini bangsa Korsel adalah bangsa penghasil, sementara saat ini bangsa Indonesia adalah bangsa pemakai.