Senin, 29 Oktober 2012

7 Kesalahan Fatal dalam Membangun Habit dan Perilaku yang Produktif



Pada akhirnya, perjalanan merajut bentangan kesuksesan itu mungkin amatlah sederhana. Just develop good habits, and you can change your life forever. Mau kaya? Rajinlah menabung. Mau pintar? Rajinlah belajar. Mau sehat? Rajinlah berolahraga. Mau masuk surga? Rajinlah shalat tahajud dan bersedekah.

Simple bukan? Ya, memahat kemakmuran dunia akherat itu memang sederhana. Yang rumit : bagaimana menginstal kata “RAJIN” itu dalam relung jiwa kita secara konstan.

Sajian renyah kali ini mau menghidangkan menu tentang 7 kesalahan fatal yang tanpa sadar yang sering kita lakukan, ketika mau membangun “sikap rajin”, habit dan perilaku produktif dalam hidup kita.

7 kesalahan atau mitos yang mau dipaparkan disini didasarkan pada riset perilaku yang ekstensif yang telah dilakukan oleh Stanford University Persuasive Lab (sebuah lembaga terkemuka yang dengan getol mempelajari seluk-beluk perilaku manusia). Dus dengan kata lain, daftar kesalahan ini bukan karangan belaka (atau sekedar opini bebas), namun proven, dan berbasis ribuan data empiris.
Mari segera kita telisik 7 error ini satu demi satu.

Mistakes # 1 : Relying on Willpower for Long Term Behavior Change. Ini kesalahan mendasar yang acap menjebak orang : ketika mau berubah, hanya mengandalkan willpower (kemauan pribadi).

Benar, kemauan itu penting, namun faktanya : cadangan kemauan orang itu amat terbatas. Dan kemauan kuat itu ternyata mudah menguap. Itulah kenapa banyak orang menggebu-gebu di awal, namun pelan-pelan pudar willpowernya. Banyak inisiatif perubahan yang kemudian gagal karena kesalahan ini.

Mistake # 2 : Attempting big leaps, instead of baby steps. Kesalahan ini terjadi lantaran kita terlalu ambius : oke mulai besok, saya mau lari pagi setiap hari selama 10 KM. Faktanya : mengubah habit jauh lebih sukses dengan goal yang simple dan kelihatannya kecil : oke mulai besok, saya mau jalan kaki 5 menit saja per 2 hari sekali.

Riset membuktikan, sasaran yang kedua ini akan JAUH lebih sukses dijalankan, dan pelan-pelan – ini ajaibnya – akan membesar dengan sendirinya (maksudnya, bulan depan naik menjadi 10 menit, terus 15 menit, dst)

Mistake # 3 : Ignoring how environment shapes behaviors. Ini benar-benar kunci : lingkungan Anda punya pengaruh besar terhadap habit dan perilaku Anda.

Ribuan motivator kelas dunia bisa didatangkan dari antah berantah, namun hasilnya tetap akan sama : sepanjang lingkungan Anda tidak di-redesain. Di desain supaya kompatibel dengan habit yang mau dibangun.

Mistake # 4 : Blaming Failures on Lack of Motivation. Ini lagi, kesalahan yang lazim terjadi. Sedikit-sedikit, menyalahkan motivasi ketika seseorang tidak mau berubah perilakunya.Yang seharusnya dilakukan : melakukan rekayasa konteks, sehingga perilaku yang mau dibangun menjadi lebih mudah dilakukan (auto debet tagihan adalah contoh sempurna : merubah kemalasan orang membayar tagihan itu bukan dengan menasehati dia supaya bayar tepat waktu.

Tapi cukup sediakan sistem yang membuat prosesnya mudah. Sim salabim, lahirlah : auto debet tagihan. Tapi banyak orang yang tulalit : terus saja menyalahkan motivasi pelanggan yang malas membayar tagihan TANPA berpikir menyediakan “rekayasa konteks” untuk mengubah perilaku).

Mistake # 5 : Believing that Information Leads to Action. Nah ini kesalahan yang dilakukan orang tulalit diatas itu : terus saja memberikan wejangan/nasehat/informasi, seolah-olah ini akan mendorong perubahan perilaku. Salah besar.

Nasehat dan informasi verbal itu nyaris tidak punya dampak pada perubahan perilaku. Mengubah perilaku hanya dengan “sosialisasi tentang pentingnya blah blah blah”, hanya akan membuat Anda frustasi.

Mistake # 6 : Focusing on Abstract Goals. Saya ingin sehat. Saya ingin kaya. Ini tujuan yang terlalu abstrak dan menurut riset, tidak mendorong perubahan perilaku.

Mulai besok saya akan sit up 7 kali per hari. Mulai bulan ini saya harus menabung 250 ribu/bulan. Sasaran yang lebih konkrit semacam ini JAUH memberikan dampak bagi perubahan perilaku.

Mistake # 7 : Assuming that Behavior Change is Difficult. Kesalahan terakhir ini terjadi ya karena itu tadi : terlalu mengandalkan willpower dan motivasi (yang cadangannya tipis) dan juga tidak dibangun berdasar strategi yang tepat.

Padahal mengubah perilaku itu akan jauh lebih mudah kalau saja kita bisa menjalankan strategi yang dipaparkan diatas : mulailah dengan perubahan kecil, ciptakan sasaran yang konkrit, dan desain sistem atau konteks yang mendukung perubahan perilaku (ingat : kasus auto debet diatas).
Itulah 7 MISTAKES yang layak dicatat kalau kita mau membangun habit dan perilaku yang produktif.

Develop good habits. Develop good behaviors. For Your Fantastic Life.

Selasa, 23 Oktober 2012

cerita dari istri john maxwell


Suatu ketika istri john maxwell ( pembicara motivator top ) Margaret, sedang menjadi pembicara di salah satu sesi seminar tentang "Kebahagiaan"

Maxwell sang suami duduk di bangku paling depan dan mendengarkan ,..... 
Di akhir sesi, semua pengunjung bertepuk tangan dan tibalah waktu nya untuk sesi tanya jawab. 
setelah beberapa pertanyaan, seorang ibu mengacungkan tanganya untuk bertanya ,... 
" Mrs Margaret, apakah suami anda membuat anda bahagia ????? 

Seluruh ruangan serentak hening saat terdengarh sebuah pertanyaan yang luar biasa. Margaret tampak berfikir beberapa saat dan kemudian menjawab, " Tidak " ????????????

seluruh ruangan terkejut, mendengar suara dari mulut margaret yang mengatakan "Tidak" 
John maxwell tidak membuatku bahagia !!!!

seisi ruangan langsung menoleh ke arah maxwell, maxwell juga menoleh - noleh mencari pintu keluar....
rasanya ingin cepat - cepat keluar. kemudian, lanjut Margaret, "john maxwell adalah seorang suami yang sangat baik, 

ia tidak pernah berjudi, mabuk - mabukan, main serong, ia selalu setia, selalu memenuhi kebutuhan saya, baik jasmani maupun rohani....
tapi, tetap dia tidak bisa membuatku bahagia...""
Tiba - tiba ada suara bertanya "mengapa ?"

"karena" jawabanya ! tidak seorang pun di dunia ini yang bertanggung jawab atas kebahagiaanku, selain diriku sendiri. "

kawan, margaret mengatakan, tidak ada orang lain yang bisa membuatmu bahagia. 
baik itu pasangan hidupmu, sahabatmu, uangmu, hobimu,... semua itu tidak bisa membuatmu bahagia,..

karena yang bisa membuatmu bahagia itu adalah dirimu sendiri... kamu bertanggung jawab atas dirimu sendiri sesungguhnya pola pikir kita bahagia atau tidak bukan faktor luar ....

Karena bahagia adalah pilihanmu sendiri. 

salam feel good.


by Mr Herman mirage

Kamis, 11 Oktober 2012

Perbedaan yang Mencolok Antara Budaya Jepang dengan Indonesia




1. Ketika di kendaraan umum :

Jepang: Orang-orang pada baca buku atau tidur.
Indonesia: Orang-orang pada ngobrol, ngegosip, ketawa-ketiwi cekikikan, ngelamun, dan tidur.

2. Ketika makan dikendaraan umum:

Jepang: Sampah sisa makanan disimpan ke dalam saku celana atau dimasukkan ke dalam tas, kemudian baru dibuang setelah nemu tong sampah.
Indonesia: Dengan wajah tanpa dosa, sampah sisa makanan dibuang gitu aja di kolong bangku/dilempar ke luar jendela.

3. Ketika dikelas :

Jepang: Yang kosong adalah bangku kuliah paling belakang.
Indonesia: Yang kosong adalah bangku kuliah paling depan.

4. Ketika dosen memberikan kuliah :

Jepang: Semua mahasiswa sunyi senyap mendengarkan dengan serius.
Indonesia: Tengok ke kiri, ada yang ngobrol. Tengok ke kanan, ada yg baca komik. Tengok ke belakang, pada tidur. Cuma barisan depan aja yang anteng dengerin, itu pun karena duduk pas di depan hidung dosen!

5. Ketika diberi tugas oleh dosen :

Jepang: Hari itu juga siang atau malemnya langsung nyerbu perpustakaan atau browsing internet buat cari data.
Indonesia: Kalau masih ada hari esok, ngapain dikerjain hari ini!

6. Ketika terlambat masuk kelas :

Jepang: Memohon maaf sambil membungkukkan badan 90 derajat, dan menunjukkan ekspresi malu dan menyesal gak akan mengulangi lagi.
Indonesia: Slonong boy & slonong girl masuk gitu aja tanpa bilang permisi ke dosen sama sekali.

7. Ketika dijalan raya :

Jepang: Mobil sangat jarang (kecuali di kota besar). Padahal jepang kan negara produsen mobil terbesar di dunia, mobilnya pada ke mana ya?
Indonesia: Jalanan macet, sampai-sampai orang susah nyebrang & sering keserempet motor yg jalannya ugal-ugalan.

8. Ketika jam kantor :

Jepang: Jalanan sepiiiii banget, kayak kota mati.
Indonesia: Ada Oknum pake seragam coklat2 pada keluyuran di mall-mall.

9. Ketika buang sampah :

Jepang: Sampah dibuang sesuai jenisnya. Sampah organik dibuang di tempat sampah khusus organik, sampah non organik dibuang di tempat sampah non organik.
Indonesia: Mau organik kek, non organik kek, bangke binatang kek, semuanya tumplek jadi satu dalam kantong kresek. (make it simple hahahaa)

10. Ketika berangkat kantor :

Jepang: Berangkat naik kereta/bus kota. Mobil cuma dipakai saat acara liburan keluarga atau acara yang bersifat mendesak aja.
Indonesia: Gengsi dooonk... Masa naik angkot?!

11. Ketika janjian ketemu :

Jepang: Ting...tong... semuanya datang tepat pada jam yg disepakati.
Indonesia: Salah satu pihak pasti ada dibiarkan sampai berjamur & karatan gara-gara kelamaan nunggu!

12. Ketika berjalan dipagi hari :

Jepang: Orang-orang pada jalan super cepat kayak dikejar doggy, karena khawatir telat ke tempat kerja atau sekolah.
Indonesia: Nyantai aja cyinn...! Si boss juga paling datangnya telat!

HIDUP INDONESIA !!! Hehehehehe,...... 

Senin, 08 Oktober 2012

tips menjadi sales profesional



"Harga Produk Anda Mahal..."

Bila Anda belum pernah dibentak calon customer "Harga Produk Anda Mahal...", ada kemungkinan Anda belum betul-betul mulai belajar jualan.

Bagaimana menghadapi calon customer yang bilang produk kita mahal? Oops, tunggu dulu.... Jangan panik dulu, dan jangan menjawab dulu sebelum Anda paham mengapa calon customer kita bilang mahal.


Menurut survey, ketika seseorang bilang sesuatu mahal, yang dimaksud dengan mahal bisa jadi salah satu dari lebih dari selusin kemungkinan di bawah ini:

1. Manfaat produk dinilai terlalu rendah (kecil) dibanding harganya.
2. Karena dibandingkan dengan produk lain yang sejenis yang lebih murah.
3. Karena dibandingkan dengan produk substitusi lain yang lebih murah.
4. Kepengen nawar.
5. Ingin mengulur waktu pembelian.
6. Ingin mencoba 'show of power' (=pamer kuasa) bahwa Customer adalah Raja.
7. Tidak punya cukup uang.
8. Belum ada urgensi (mendesak) atas produk tersebut.
9. Hanya sekedar cek harga (memenuhi rasa ingin tahu saja)
10.Masih ragu dengan kualitas produk atau layanan yang akan didapatkan.
11.Ingin mencari alternatif lain.
12.Memang produk kita mahal.
13.Bukan segmen pasar yang cocok.
14.Tidak mempunyai "kuasa" untuk menentukan pembelian
15.Cuma iseng.
16.dll

Jika Anda bertemu dengan calon customer yang mengatakan "Harga produk Anda mahal...", satu-satunya tanggapan yang Anda perlu lakukan adalah MENANYAKAN kembali "Mengapa...."

Usahakan gali terus sampai menemukan akarnya. Tanyakan mengapa..., mengapa..., dan mengapa....

"Mengapa Anda mengatakan produk kami mahal?"
"Karena AAA"

"Mengapa AAA?"
"Karena BBB"

"Mengapa BBB?"
"Karena CCC"

ketika CCC tidak bisa digali lagi dan Anda sudah memahami mengapa calon customer mengatakan mahal, baru pikirkan solusi dan jawaban yang tepat bagi calon customer.

 

Over Promise Can Kill U

Semua sales person, semua marketer, semua enterpreneur rasanya mengerti apa yang disebut "Customer Satisfaction". Malah banyak yang gembar-gembor "perusahaan kita mengutamakan customer satifaction  sama dengan kepuasan pelanggan".

tapi pertanyaannya, kepuasan pelanggan yang bagaimana?

Hampir semua perusahaan mengetahui dan menjalankan strategi untuk memenuhi kepuasan pelanggan, tetapi kenyataannya sangat banyak kita dengar, kita saksikan orang-orang yang dikecewakan.

Jangan berbicara mengenai "memberi kepuasan pelanggan" jika kita tidak mengerti bagaimana "memanage harapan pelanggan".

Ya, harapan pelanggan senantiasa berbanding terbalik dengan kepuasan pelanggan. Semakin tinggi harapan pelanggan, semakin sulit pelanggan dipuaskan.

Salah satu tips terbaik untuk teman2 sales, jangan sesekali memberi janji berlebihan. Lebih baik "under promise - over deliver" daripada sebaliknya

 

12 Golden Principles of Selling

1. Selalu menjual kepada "orang"

Tidak menjadi masalah Anda sedang menawarkan sesuatu kepada institusi atau organisasi, tetapi yang Anda temui adalah manusianya. Pemahaman akan perilaku manusia dan bagaimana berinteraksi dengan manusia tidak kalah penting dengan pengetahuan akan produk yang Anda wakili.
Orang membeli dari orang, dan akan selalu begitu.

2. Juallah "diri" Anda

Customer tidak hanya sekedar membeli produk yang Anda wakili, melainkan customer membeli Anda sekaligus. Untuk itu Anda perlu:

- Menjadi orang yang menyenangkan.
  Customer tidak suka membeli dari orang yang bete, membosankan, atau menyebalkan.
- Cerdas dan berwawasan.
  Customer berharap bertemu dengan sales person yang cerdas dan berwawasan agar bisa diajak memikirkan     solusi yang diperlukan. Sales person yang tidak berwawasan hanya memikirkan komisi yang bakal diterima       saja.
- Jangan menjadi sombong.
  Memegang teguh prinsip tidak harus menjadikan Anda sombong. Hargailah customer Anda, maka customer     juga akan menghargai Anda.

3. Anda harus pintar bertanya

Dalam semua literatur dan pelatihan penjualan selalu disebutkan bagi sales person, jauh lebih penting pintar bertanya daripada pintar bicara. Rumus umum mengembangkan pertanyaan adalah Apa, Dimana, Kapan, Siapa, dan Mengapa.

4. Anda juga harus pintar mendengar

Pemasar profesional mengerti mengapa Tuhan memberikan 2 telinga dan 1 mulut. Dalam kebanyakan transaksi penjualan, Anda perlu mengalokasikan 80% dari waktu pertemuan untuk mendengar dan hanya 20% untuk berbicara dan bertanya. Anda perlu mengembangkan kemampuan "active listening" skills. Dalam bahasa Inggris listen berbeda dengan hear dan yang diperlukan disini adalah listen.

5. Fokuskan pada fitur yang memberi manfaat

Customer membeli manfaat dari fitur-fitur yang ada di produk yang Anda jual. Selalu kaitkan setiap fitur yang Anda presentasikan dengan manfaat yang diperlukan oleh customer. "Fitur xxx akan memberi perusahaan Anda kemudahan yyyy". Jika Anda tidak bisa menemukan manfaat dari fitur tertentu bagi customer, lewati fitur tersebut.

6. Jual "gambaran" manfaat

Berikan gambaran yang nyata bagaimana produk yang Anda tawarkan bisa meningkatkan kualitas kerja dan hidup customer.

7. Jangan bergantung pada logika

Menurut survey, keputusan membeli didorong oleh 84% unsur emosional. Unsur emosional yang dimaksud antara lain kebutuhan akan: ego, rasa aman, kebanggan, gengsi, status, ambisi, dan rasa takut kehilangan. Anda tidak perlu menjadi ahli psikologi untuk memahami hal-hal ini.

8. Pahami produk Anda sedetil mungkin

Anda bisa memberikan solusi terbaik dan "mem-personalisasi" manfaat bagi customer Anda jika Anda memahami sifat produk Anda dengan baik. Ingat, customer tidak membeli dari Anda karena mereka ingin membeli produk Anda, customer ingin membeli solusi dan manfaat yang bisa didapat dari produk Anda.

9. Jadilah unik

Anda perlu mengembangkan perilaku menjadi "me first", jadilah yang pertama menghampiri customer dengan solusi. Customer tidak suka dengan sales person yang hanya bisa "me too". Setiap bisnis, setiap orang, setiap produk mempunyai keunikan tersendiri. Tantangan bagi Anda adalah temukan keunikan dari produk Anda, perusahaan Anda, dan diri Anda sendiri.

10. Jangan menjual berdasarkan keunggulan harga melulu

Ketahuilah, banyak pihak lain yang bisa merebut bisnis kita dan keunggulan harga adalah keunggulan yang paling mudah ditiru. Jika penjualan hanya berdasarkan harga, prusahaan tidak memerlukan sales person lagi.

11. Hadirkan solusi Anda

Setiap proposal yang Anda kirimkan, baik lewat pos, email, atau fax harus menjelaskan solusi dan manfaat bagi customer.

12. Selalu bersikap profesional

Apa yang Anda ketahui tentang profesional? Menjadi profesional itu tergantung pada tiga hal:
- Apa yang Anda lakukan
- Apa yang Anda katakan
- dan Bagaimana Anda bersikap

SELAMAT BERJUANG !!!! 

Jumat, 05 Oktober 2012

Financial Freedom

 


Sebagai penyimak program sekaligus pemerhati perkembangan sekitar, hati dan jiwa saya berbaur multi rasa. Kagum atas kepiawaian para ahli berbicara tentang hal yang memang dikuasainya, ikut bangga dengan teman-teman yang berhasil di bidangnya sekalipun barangkali sang teman itu tidak tahu bahwa saya membanggakan dia. Atau, justru.. kadang-kadang timbul juga rasa kuatir saya  dengan dampak negatif atas mentalitas komunal bangsa ini gara-gara semangat para motivator yang begitu menggebu, tetapi mungkin kurang memikirkan relevansi dan akibat dari sebuah seminar motivasi tentang terobosan-terobosan tertentu... Demi dinilai maju dan bisa sukses, orang rela melakukan apa saja yang penting berhasil. Dan ukuran sukses salah satunya adalah uang.
Financial Freedom. 

 Ah, indahnya, bilamana kita ingin punya sesuatu atau ingin beli sesuatu: tinggal tunjuk saja di rak kaca di mall, lihat-lihat atau coba-coba sedikit.. lalu beli. Atau, kalau sudah bosan dengan satu warna tertentu dari kendaraan yang saya pakai dan ingin ganti tipe atau warna lain, dengan mudah melemparnya ke tempat barang bekas, dan beli lagi yang baru. Apakah dunia financial freedom seperti itu yang sungguh-sungguh saya inginkan? Saya merenung.

 Tidak juga.

Kalau saya menganggap kebebasan finansial adalah identik dengan saya bebas menggunakan uang saya untuk apa dan bagaimana semau saya – maka saya sudah menjadi seorang yang boros tidak pada tempatnya. Apakah perlu sedemikian membelanjakan uang yang saya miliki untuk memuaskan kesenangan saya?

Mungkin tidak.

Akan tetapi.. manakala saya berpikir bahwa mungkin saja saya tidak terlalu memerlukan belanja ini dan itu.. karena yang ada tersebut akhirnya tidak lagi menjadi daya tarik utama dalam hidup saya – atau karena saya merasa bebas olehnya— maka saya bisa masuk dalam tahap tidak peduli ada uang berapa, saya akan gunakan sewaktu saya butuh, saya tidak akan gunakan untuk hal-hal yang menurut saya tidak perlu... Jadi, uang ya uang. saya ya saya. Apa begitu?

 Lalu, bagaimana bila saya masuk ke dalam kategori orang yang apa adanya dalam penampilan, dalam keseharian, dan seterusnya...? Artinya, sekalipun saya ada memiliki cukup banyak uang untuk dibelanjakan guna menikmati hidup, saya memilih tetap hidup apa adanya... lalu, kalau demikian halnya, uang saya untuk apa?

Menjadi cukup irit atau berhemat sehingga cenderung pelit, padahal uangnya tersedia tentulah juga bukan merupakan konsep financial freedom. 

Suatu ketika, saya memilih berjalan di pertokoan elit, kebetulan kala itu saya sedang mengenakan pakaian yang cukup pantas dan terlihat cukup terpandang dari penampilan sehingga kalau saya masuk ke satu outlet di situ, sales promotion girl segera menghampiri, “Bisa dibantu, Bu?” Saya membalas dengan senyum dan sebuah anggukan kecil. Lalu berkata singkat, “Lihat-lihat dulu, ya Mbak.”

Saya memang murni ingin melihat-lihat. Lain tidak. Jujur saja, memang saya tidak punya cukup uang untuk berbelanja barang pribadi yang bagi saya termasuk mewah atau  terlalu elit bagi saya.

Namun, hati saya senang melihat barang-barang bagus itu. Ada beberapa sepatu yang saya coba untuk mengenakannya.. dan ada tas-tas wanita terbaru yang saya lihat warna, model, maupun bentuknya... Lalu, hati kecil saya berkata, “Kalau kamu punya uangnya, akankah kamu membelinya?’

Saya pulang dengan renungan tersebut sepanjang jalan... sepanjang malam.. dan beberapa hari berikutnya....

AHAaaaa.......!!!!!!!!!!!
Saya menemukan jawabannya.

“Betul juga, ya...” Kalau saya punya uang pada waktu saya melihat-lihat barang secara iseng, sangat mungkin saya akan membelinya, terlepas dari apakah saya sangat membutuhkannya atau tidak. Semakin keinginan hati saya diikuti, semakin besar dorongan saya untuk memuaskannya lebih lagi. Semakin sering saya akan pergi shopping yang semula sifatnya hanya window shopping menjadi shopping beneran. Sangat mungkin pula, lalu, saya mencantumkan dalam agenda saya pada keterangan hobby: BELANJA.

Apakah itu arti Financial Freedom yang saya tuju?  Yang penting kaya, punya duit sehingga ada kebutuhan apa pun bisa dengan mudah kita penuhi.

Lalu, saya merenung kembali... sambil mencari beberapa bacaan menarik tentang masalah keuangan. Kenapa saya temukan nada sama: bahwa kita berhak kaya – atau kaya itu asyik...  tetapi sedikit yang berbicara bagaimana kalau tidak terlalu kaya, tetapi tetap asyik?

Renungan saya tentang konsep Financial Freedom pun akhirnya bergeser...

Alangkah senangnya kalau saya termasuk dalam kategori orang terkaya. Menjadi kaya itu menyenangkan, dan sah-sah saja..  tapi, mensyukuri berapa yang ada pada saya sekarang seraya tetap mengusahakan yang terbaik yang dapat saya buat dalam segala aspek hidup saya, itu menjadi hal yang jauh lebih penting bagi saya sekarang ini.

Saya harus sadar bahwa saya memiliki cukup uang. Terlalu banyak tidak, terlalu sedikit juga tidak. Banyak atau sedikit bukanlah  masalah-nya.  Yang jelas, ketika uang terbilang sedikit, saya tidak nelangsa, ketika uang dirasa terlalu banyak saya tahu ke mana atau bagaimana mengalokasikannya untuk menjadi manfaat yang berguna bukan hanya untuk memuaskan keinginan hati saya.

Artinya lagi... sebetulnya Financial Freedom tidak melulu bicara Finance – yang berarti berkaitan langsung dengan adanya uang, atau keahlian mengelola uang.  Saya sendiri lebih condong kepada kata Freedom yang mengemuka di depan, baru setelahnya Financial yang dijelaskan. 

Kebebasan finansial merujuk kepada pemahaman yang benar tentang makna bebas. Baru masuk ke dalam tahap pengertian yang benar tentang keuangan.

Saya memutuskan untuk memilih kata bebas sebagai kata yang penting dan signifikan untuk diadopsi terlebih dahulu sehingga dapat menyikapi masalah finansial secara benar.
Bebas berarti saya tidak terikat. Bebas berarti saya tidak terbeban. Bebas berarti lepas. Bebas berarti merdeka. Dan itu dimulai dengan pengertian yang benar tentang hati dan jiwa saya: mau terikat pada apa?  Bisakah saya sepenuhnya memiliki hati yang bebas? Jadi individu yang sama sekali bebas, sedangkan kita hidup sebagai bagian dari satu komunitas tertentu atau satu tatanan sosial tertentu?

Alangkah indahnya hidup bilamana setiap orang dapat memahami hakkat “hati dan jiwa” yang terbebas namun tetap memahami konteks keterkaitan dalam hubungan antar manusia dan lingkungannya.

Dalam konteks keuangan, maka itu dapat berarti bahwa  hati dan jiwa saya bebas dari keterikatan dengan hal-hal yang berkorelasi dengan uang. Maksudnya?

Uang tidak boleh menjadi indikator kebebasan saya. 
Ada uang saya merasa punya harga diri, dipandang sukses, punya kepribadian, punya predikat, dan lain-lain. Sehingga uang lah yang menjadi “merek generik” atas kata sukses. Tidak juga, kan? Apa jadinya kalau hari ini saya punya uang satu miliar rupiah, lalu esok pagi uang tersebut tiba-tiba lenyap karena bencana atau apa pun juga? Masihkah saya cukup kuat menyikapi hidup dengan hati dan jiwa yang bebas, tanpa merasa sakit?

Uang tidak berkaitan langsung dengan kebebasan dalam memutuskan membelanjakan atau menggunakan uang saya
Kalau saya punya uang semiliar, saya akan membagi rejeki saya dengan yang gak punya. Lalu, kalau uang saya baru ada dalam bilangan sejuta, apakah saya akan memberikan bagian saya juga untuk mereka?  Kalau saya harus menunggu indikator saya kaya baru saya belajar berbagi dengan orang yang memerlukan, maka saya sesungguhnya kurang memahami arti bersyukur atas setiap rejeki yang sudah Tuhan berikan dalam hidup saya, dan kurang belajar menerima realitas kehidupan atas orang-orang yang pantas ditolong atau diberkati oleh kehadiran saya sehingga hidup saya menjadi bermakna.

Jadi,

Akhirnya kebebasan finansial bisa bermakna kemandirian atau keberdikarian seseorang dari hal-hal yang bersifat materi – dan orang itu tidak berfokus kepada besarannya. 
Kita akan sungguh-sungguh bebas secara finansial manakala kita sudah dapat memiliki sikap iman yang benar tentang kehidupan. Ada uang saya bersyukur, tidak ada uang saya tidak menjadi senewen, pencuri, perampok, atau nekad melakukan berbagai hal agar saya punya. Namun, dengan sadar diri dan iman yang benar saya akan tetap berusaha untuk supaya saya dapat memperoleh dan memiliki uang sesuai kapasitas kesanggupan saya mengelola serta  kepercayaan pihak lain bagi saya untuk mengelolakannya. Dan itu di dalamnya ada “anugerah” yang Tuhan percayakan.

Kebebasan finansial seharusnya dapat disikapi secara bijak dengan cara: uang tidak akan menjadi alat kendali kehidupan saya dan orang-orang lain yang ada di bawah atau di dalam pengaruh saya –karena manusia lebih berharga dari uang— sehingga saya pun memang membebaskan nilai-nilai hidup saya dari hal-hal yang sifatnya terukur secara materi..; sekalipun saya tetap berlaku jujur dan santun bahwa ada apresiasi material tertentu yang layak diterima atas setiap usaha yang dilakukan. Prinsip ini akan menuntun kita kepada pola hidup yang  ingin lebih atau serakah tanpa memperhatikan kepentingan orang lain. Orang-orang yang terus menerus ingin mendapatkan lebih karena merasa telah atau sanggup memberi lebih akhirnya pun bisa terjerat kepada rasa frustrasi karena merasa tidak puas  dengan pencapaian sebelumnya....  wahai...

Seandainya saja kita paham bahwa di dunia ini ada terlalu banyak hal yang tidak dapat ternilai dengan uang, maka konsep financial freedom harus menjadi satu konsep yang holistik bukan melulu bagaimana uang bekerja bagi kita, tetapi juga bagaimana kita menempatkan diri di antara uang dan nilai-nilai kehidupan. Dan, karena itu, pengertian tentang finansial freedom sebagai kunci dari sikap hidup yang benar layak ditelaah dan terus digali... agar kita tidak bergeser ke jalur yang salah dalam memaknai tujuan hidup selagi kita masih dapat bernapas. Uang bukanlah tujuan. Kebebasan sudah terlebih dahulu ada pada hakekat hidup kita. Mengapa kita menjadi terikat padanya?

--
Salam Sukses Selalu,



Sifra Susi Langi

Rabu, 03 Oktober 2012

Kiat sukses menjual dengan konsep weapon selling





-          Harus suka tantangan, tidak ada kata sulit untuk menjual


  Konsep weapon selling :


W : weaning attitude ( semangat menang ) 
                       dibutuhkan mental yang kuat dan keyakinan !!!  Ciri - ciri :
                                - yakin !!!!
                                -  Bertanggung jawab
                                -  Orang kunci ( orang yg bisa membawa suasana )

E : antusiasisme
                       Harus punya antusiasme yang tinggi untuk menjual

A : action
                       Segeralah melakukan action atau tindakan untuk menuju tujuan kita

P : patahkan limiting believe
Yang dimaksud di sini adalah Kepercayaan kita tentang takut untuk maju kita harus patahkan untuk bisa menjadi org yang sukses

O : ketaatan
Sifat patuh dan taat atas semua aturan dalam hidup ini : tuhan, orang tua, pemerintah,dll  ( Apabila kita menjadi orang yang taat, kita akan menjadi pribadi yang tulus sehingga                 memudahkan untuk selling karena aura tulus itu akan terlihat ,meskipun kita lewat telp pada saat penawaran apabila kita tersenyum itu akan sampai ke hati customer )

Ilmu sun zhu : perdaya langit lewati laut Tidak boleh menyebut lawan saing kita dengan       sebutan competitor melainkan dengan sebutan sobat  ! untuk bisa mengalirkan semangat yang  tidak buas dan berdampak negatif.

N : new world paradigma
Berpikir yang baik tentang yang ada di dunia ini, hilangkan sifat iri Berpikir yang indah tentang produk kita, cara menjualnya serta menvisualisasikan secara focus tentang produk kita. Dengan konsep tersebut pasti yakin dan bisa, kalau kita bisa menjual dengan mudah dan tidak ada kata sulit.

Semoga dengan konsep ini kita semua bisa belajar untuk menjadi sales yang baik dan berkembang.



by : mr rudy garuda food